Senja datang diam-diam pada 16 Juli 2011, tak siapa pun hirau kepadanya. Tetapi, kau menyambangiku melalui pesan singkatmu, memahkotai senjaku dengan sebuah pernyataan bahwa kau akan mencintaiku sebagaimana aku mencintaimu. Sontak, Abepura dihujani pelangi, bercak pinang sirih menjijikkan di sudut-sudut kota tiba-tiba rapi, bahkan selokan anyir di sepanjang Jl. Kota Raja menjelma Sungai Gangga. Dan perasaanku menjadi teguh sekaligus luruh, mengingat betapa jauhnya engkau dari jarakku.
Sejak senja itu, aku mulai menenun esokku sepanjang yang aku mampu. Aku berniat mengabarkan kepadamu segala yang kulakukan di tempat jauh. Sebab, engkau adalah kanvas baru hidupku yang dapat kutorehkan apa saja di permukaan hatimu. Sejak senja itu, aku merasa selalu punya alasan untuk mengirimimu pesan singkat, sebab engkau adalah milikku.
Aku mulai berkemas pergi ke padang rumput maya untuk menggelar perayaan kita di sana, perayaan yang sudah kuimpikan sejak lama. Semua lampu kutata, tenda-tenda dan ornamen-ornamen cinta kurangkai sendiri dengan hatiku.Jamuan dan anggur juga kusiapkan di meja-meja pualam berukir tifa dan burung surga. Kuperkirakan, akan banyak tamu bermuhasabah untuk cinta kita.
Hingga Abepura dirundung malam yang dalam, perayaan kita tak pernah usai. Selalu ada jamuan, anggur, tenda-tenda, ornamen-ornamen, dan lampu-lampu.Aku memang menggelar perayaan itu selamanya, setiap waktu, sebagai ruang pertemuan para Pecinta.
Biasanya, malam begini aku menantikan pesan singkatmu seperti menunggu malaikat bersayap seribu menerbangkanku mengitari keajaiban waktu. Kadang, kau mendatangiku, tetapi lebih sering aku hanya menunggu hingga venus usai menakar terang di ujung subuh.
Malam itu pesan singkatmu hadir begitu saja, membawa pinangan aksara-aksara cinta dan mencumbui pikiranku dengan hawa moksa.
“Apa kau bersungguh-sungguh dengan cintamu?” tanyamu meragu.
“Tentu saja,” jawabku.
“Tapi aku tak merasakan cintamu.”
Aku sebenarnya tidak terlalu paham, kenapa kau tak bisa merasakan cintaku. Tapi aku selalu punya kalimat untukmu.
“Jika kau tak merasakannya, mungkin kau yang tak mencintaiku.”
“Bukan begitu.”
“Lantas?”
“Aku mencintaimu seperti cinta rembulan dipingit malam,” jawabmu meyakinkan.
“Hatiku berdesir. Aku ingin menjadi Putri yang kau selamatkan pada pertempuran puncak di dataran Mongolia, lalu kita pergi mengembara berdua saja,” inginku.
“Aku bersedia, asalkan kau mau menjadi kekasihku.”
“Tentu saja. Aku sudah menjadi kekasihmu sejak berabad-abad lalu,” ungkapku tak ragu.
Lama kutunggu balasanmu, namun hingga tangin segelas kopiku, tak ada cahaya apa pun yang mampir di ponselku. Pesan singkat malam pertama berhenti di sini, dan aku tertidur tanpa mimpi.
***
Senja kedua aku bersamamu, matahari dalam pandanganku terlihat jauh lebih cantik dari hari sebelum-sebelumnya, sepanjang hidupku. Aku beradu senyum dengan lembayung, manakah yang lebih tegas semburatnya? Jika matahari menyemesta, maka senyumku menerangi hati para Pecinta. Aktivitasku hari itu tak meninggalkan penat sama sekali, karena aku dipenuhi ingatan bahwa kau adalah kekasih yang akan merajut selimut malamku dengan dawai kecapi. Selimutku penuh nyanyian yang melelapkan aku dengan puji-pujian, mengirimiku udara beraroma bunga-bunga dari Pegunungan Nepal, dan aku menamaimu dengan nama terindah yang pernah kupilih.
Aku percaya bahwa namamu mampu menghiasi ‘Arsy, persemayaman Tuhan di langit ketujuh seusai Dzat-Nya menciptakan dunia. Tidakkah namamu terlalu tinggi untuk kugapai? Aku tak berpikir sejauh itu, sebab cintaku tentu akan memujamu, meninggikanmu, menempatkanmu pada hatiku. Tak salah jika aku menaruhmu di persemayaman Tuhan, sebab hatiku adalah resonansi Cinta yang Ia jelmakan.
Pada senja kedua itu, pesan singkatmu menyambangiku lagi, yang kukira serupa buket bunga berisi peony merah, daffodil, dan mawar Skotlandia yang elok. Buket maya memesona itu mungkin saja kau usung dari lembah-lembah hatimu yang penuh daftar keindahan jagad raya, dan kau memilihkan untukku sebuah keindahan musim semi dari semenanjung dekat Kutub Utara.
Aku menikmatinya dengan seluruh bahagia yang pernah kumiliki. Namun, aku tiba-tiba meragu meskipun kau mengirimiku sebuah janji bahwa jiwa ragamu dapat kurengkuh, kumiliki pada saatnya nanti. Aku pun memaklumi keraguanmu kemarin, sebab aku merasakannya hari ini.
Hingga semesta berjelaga, dialog kita masih semburat di ruang maya.
“Siapa aku bagimu?” tanyaku.
“Kau aksara, warna, dan susunan nada dalam satu harmoni,” jawabmu puitik.
“Apa kau kira kalimat-kalimat cinta dapat dipersembahkan seseorang kepada orang lain yang tidak dicintainya?”
“Tidak mungkin!” sangkalmu tegas. “Ungkapan cinta hanya dapat dituturkan oleh Pecinta.”
“Jadi, kau benar-benar mencintaiku?” Sekali lagi aku memastikan perasaanmu.
“Ya, aku mencintaimu, Permaisuriku.”
“Lima tahun yang akan datang, apakah kau masih menyimpan cinta ini?”
“Kuharap masih. Cintaku padamu adalah misi bagiku,” demikian jawabmu sungguh.
“Baiklah, aku percaya, Pangeran.”
“Terima kasih.Sekarang istirahatlah.”
“Dekap aku, dengan cara yang kamu bisa.” Seperti itulah ucapanku lindap pada gemintang, perasaanku bersayap menerobos lengang.
“Aku akan menjadi malam yang memelukmu.”
Aku lantas menuju mimpiku, mimpi pertama tentangmu.
***
Senja ketiga, kukira jauh lebih indah. Aku tak punya alasan apa pun untuk tidak memercayaimu, dan aku tak pernah berpikir bahwa hal-hal kecil akan menjadi asap dunia maya kita. Aku menganggapmu memiliki hati, pikiran, dan perasaan yang menyamaiku. Aku mengira kau akan berpikir seperti caraku berpikir.
Apakah mungkin itu terlalu cepat? Meskipun aku sudah lama mengenalmu, tetapi ranah cinta kira baru diretas selama tiga senja. Dan sebenarnya, apa bedanya jalinan kita dahulu dengan padang cinta kita yang baru memula? Aku percaya kau mencintaiku. Lalu apa lagi? Cinta adalah ruang, tempat sepasang kekasih saling bercermin diri. Jika aku timpang, kau yang membenahi. Jika kau tabu, aku yang mendandani. Demikian seharusnya menurutku.
Hingga malam meringkas dingin, aku masih berpikir bahwa keindahan kita tak pernah usai. Kepercayaanku kepada cintamu menyamudera, bersama baris-baris kalimat yang kau kirim untukku. Sebenarnya itu bukan kalimatmu, tetapi kau meminjam ungkapan Pramudya Ananta Tour yang katamu mewakili perasaanmu.
“Kau tahu, kenapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis.Suaramu takkan padam dimakan angin.Akan abadi sampai jauh.Jauh di kemudian hari.”
Aku tak mengerti kenapa cintamu membuatku menggigil. Mungkinkah kadarnya terlalu berat dan besar sehingga hatiku terlalu kecil untuk menerimanya? Tapi, kurasa tidak. Sejak momentum ledakan cinta kita, aku membiarkan hatiku mengembang.
Pada gemetar itu aku bertanya. “Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Menjemputnya,” jawabmu singkat.
“Lantas?”
“Menari kembali bersamanya.”
“Nya merujuk kepada siapa?” tanyaku pilu. Hatiku susut. Lautanku surut. Namun, aku masih gemetar. Kurasa, sebab aku mulai kehilangan sebagian dirimu.
“Seseorang yang pernah singgah di hatiku. Tapi, sekarang sudah tiada.”
“Maaf, aku baru mengetahuinya. Aku turut berbela sungkawa. Tentunya dia sangat istimewa sehingga kau begitu mengenangnya.”
Perasaanku sengkarut. Tetapi, aku merasa bisa mengendalikannya.
“Sudahlah, aku tak perlu berlarut-larut dalam kenangannya,” terangmu, sedikit menenangkan.
Aku berpikir, apa yang harus kutuliskan untukmu? Tiba-tiba tercetus lagi sebuah tanya.
“Maaf, ungkapanmu tadi sebenarnya untuk siapa? Aku atau dia?”
Pertanyaan yang naif sebenarnya. Tapi, dalam situasi itu aku sungguh tak punya kalimat yang benar-benar mapan.
“Entahlah,” jawabmu.“Kalian punya kemiripan karakter.”
Mungkin sebaiknya aku tak melanjutkan perbincangan itu. Aku bisa saja mengalihkan topik kita. Tetapi, entah kenapa aku tak melakukannya. Aku ingin menakar seberapa kamu bisa memahamiku. Namun, itu justru membuat segalanya runtuh.
“Jadi, kau menemukan dia di dalam aku?” tanyaku tak peduli. “Tetapi aku bukan dia. Dan ungkapan Pramudya itu tak dapat kau tujukan kepada dua orang.”
Apakah aku terlihat marah dengan kalimat itu? Tidak. Aku sama sekali tidak marah. Kau berhak punya kenangan seperti aku juga punya kenangan. Aku hanya belajar berdialog denganmu dari banyak sisi. Aku pernah katakan bahwa aku mencintai sesuatu yang substantif di dalam dirimu, aku mencintai hatimu. Jika kau melihat karakterku untuk kau cintai, bukankah model cinta kita sebenarnya sama? Saat itu aku berharap kau memberiku sedikit pengertian, setidaknya kau mengungkapkan pendapatmu. Tapi, tidak seperti itu yang terjadi.
“Sudahlah, lupakan semua pikiran negatifmu tentang aku,” katamu.
Sebenarnya, aku tak pernah berpikir negatif tentang kamu. Aku pun menjawab dengan kalimat terbaik menurutku.
“Ya, aku sudah melupakan semuanya. Begini saja, jika kita sedang membangun dunia maya kita, biarlah kita berdua saja di dalamnya. Nafikan lainnya.”
Kukira ideku tidak muluk-muluk. Sebab, hanya dua belas digit angka nomor ponselmu yang aku punya sebagai representasi kehadiranmu. Jadi, aku ingin kau hadir memang untukku melalui pesan-pesan singkat itu. Sungguh, aku tak pernah jatuh cinta seperti ini sebelumnya. Cintaku dulu-dulu bersifat memaksa dan cenderung menguasai. Tetapi, cintaku kepadamu adalah menjaga, memberi ruang, dan memahami. Aku mengira, ini adalah cinta paling tulus yang pernah kumiliki. Tetapi, entah aku yang terlalu perasa atau kamu yang setengah hati. Dengan ide sederhana tentang dunia maya kita, kau ternyata begitu marah.
“Kau sudah termakan hasutan orang tentang aku, bahwa perempuanku bertebaran di mana-mana. Aku paling tidak suka dengan itu. Cukup.”
Itu kalimat terakhirmu. Kurasa penuh kekesalan. Aku masih mengirimkan pesan untukmu sebagai balasan.
“Cinta itu memahami. Kau boleh marah kepadaku kapan pun kau ingin marah, seperti aku mengizinkanmu mencintaiku kapan pun kau ingin mengungkapkannya.”
Namun, kau bergeming. Hingga tuntas malam itu dan senja-senja berikutnya, tak satu pun pesan singkatmu menyapaku. Mungkinkah, berakhir sudah perayaan padang rumput maya kita? Berakhir hanya dengan satu kata ‘cukup’ yang tidak kutahu dengan benar apa maknanya. Tak kusangka, hari terindahku hanya berlangsung tiga senja. Tapi, aku masih menyimpan cintaku untukmu sampai dalam. Dalam sekali di tengah hati. Aku masih menunggu hari, ketika engkau menyuntingku lagi dengan aksara-aksara cinta yang lebih jernih. []
Abepura, Juli 2011