Pacet, september 2005.
Hal prtama yg muncul saat membaca tulizan itu di kaos biruku itu adalah pinus, gunung, dingin, dan.... Sosok itu.
Ospek anak2 kimia unesa yg di selenggarakan di Pacet adalah kenangan naik gunung terindah sepanjang sejarah hidupku.
Aq tidur d tenda brhimpit2an dg teman2 lain. Dingin. Tiba2 aq kebelet pipis. Dg stengah sadar aq keluar tenda. Sepi. Aq brjalan mlewati tenda kakak pembina menuju kamar mandi umum di sberang jalan. Ada kakak2 pembina brteriak. Aq acuh. Malaz malam2 gini ngucapin salam ke kakak pembina
Akhirnya salah seorang dari mereka menghampiriku, mau kemana dik?, tanyanya.
Pipis. Jawabku singkat.
Digandengnya tanganku dan diantarkannya aq tepat d dpn pintu kamar mandi. Usai pipis, kakak itu msh menunggu d dpn pintu. Dan aq diantarkannya kembali. Tp sblm nyampe ke tenda, dia mengajakku duduk d bawah pohon. Aq menurut. Dia bercerita banyak hal. Kehidupan. Gunung. Alam. Kampus. Aq mendengarkannya dg antusias. Sesekali aq mencoba memandang wajahnya. Samar. Cahaya obor dan rembulan malam itu tak mampu mendeteksi raut mukanya. Hatiku berdesir.
Dia mengelus kepalaku pelan. Udah malam, tidur gih, bentar lg ada renungan malam, ucapnya. Dan akupun beranjak ke tenda untuk tidur. Msh dlm keadaan setengah sadar.
Pagi harinya, hingga hari berikutnya aq terus2san mencari siapa sosok yg tadi malam itu. Tp gk ketemu. Bahkan hingga di akhir aq menjejakkan kaki di Unesa, sosok itu msh menjadi misteri. Entah Mirza atau Andika? Entahlah.
No comments:
Post a Comment