Kadar seseorang dalam menilai sebuah
film memang berbeda-beda, tergantung seberapa erat hati kita dengan tema film
yang kita tonton dan seberapa pengalaman hidup kita menyambung dalam
kisah-kisah dan scene-scene yang ada di film tersebut.
Terbukti ketika saya bercerita bahwa
saya terbuai dan beberapa kali menangis histeris ketika menonton film
Rectoverso, beberapa temanku malah bilang film ini biasa saja, gak ada yang
menarik. Hal ini tentu saja membuatku geleng-geleng kepala sendiri. Ternyata mereka
tidak menikmati film itu sebagaimana saya menikmatinya dan ikut terhanyut dalam
setiap scene, dialog cerdas serta score dan soundtrack yang disuguhkan. Sungguh
sangat disayangkan, tapi saya tentu saja tidak bisa memaksakan kenikmatan itu
pada mereka.
Rectoverso, sebuah omnibus yang
diangkat dari novel Dee dengan judul yang sama yang di kisahkan secara
bersamaan, alias potongan-potongan kisahnya digabungkan dengan ritme yang
hampir sama. Saya lebih suka gaya bercerita seperti ini daripada cerita yang
sekaligus dan terkesan seperti kisah yang pendek-pendek. Kisah seperti ini
lebih menyenangkan karena klimaksnya terjadi bersamaan, namun kekurangannya,
cerita seperti ini akan memunculkan tokoh terlalu banyak secara bersamaan. Jadi
mungkin sebagian penoton akan sulit
menghafal satu persatu tokoh-tokohnya.
No comments:
Post a Comment